Rabu, 13 Juli 2011

Wahai diri, ikhlaslah... :')

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ

بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،

أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ،

أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ

“Ya Allah! Sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hambaMu (Adam) dan anak hamba perempuanMu (Hawa). Ubun-ubunku di tanganMu, keputusan-Mu berlaku padaku, qadhaMu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepadaMu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diriMu, yang Engkau turunkan dalam kitabMu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhlukMu atau yang Engkau khususkan untuk diriMu dalam ilmu ghaib di sisiMu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka dan kesedihanku.”
(HR. Ahmad 1/391. Menurut pendapat Al-Albani, hadits tersebut adalah sahih)

Wahai diri, ikhlaslah..biarlah hal itu menjadi proses pembelajaran, pembelajaran untuk menata hati... =')

La Tahzan ya Fit.. Allah Maha Adil.., dan Allah Maha Baik....

Sabtu, 14 Mei 2011

Memilih menjadi Dokter.. :)

Bismillahirromaanirrohii...
Rekan sejawat yang terhormat..

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk bisa kaya raya, maka segeralah kemasi barang-barang Anda. Mungkin fakultas ekonomi lebih tepat untuk mendidik anda menjadi businessman bergelimang rupiah. Daripada Anda harus mengorbankan pasien dan keluarga Anda sendiri demi mengejar kekayaan.

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk mendapatkan kedudukan sosial tinggi di masyarakat, dipuja dan didewakan, maka silahkan kembali ke Mesir ribuan tahun yang lalu dan jadilah fir’aun di sana. Daripada Anda di sini harus menjadi arogan dan merendahkan orang lain di sekitar Anda hanya agar Anda terkesan paling berharga.

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk memudahkan mencari jodoh atau menarik perhatian calon mertua, mungkin lebih baik Anda mencari agency selebritis yang akan mengorbitkan Anda sehingga menjadi artis pujaan para wanita. Daripada Anda bersembunyi di balik topeng klimis dan jas putih necis, sementara Anda alpa dari makna dokter yang sesungguhnya.

Dokter tidak diciptakan untuk itu, kawan.

Memilih menjadi dokter bukan sekadar agar bisa bergaya dengan BMW keluaran terbaru, bukan sekadar bisa terihat tampan dengan jas putih kebanggaan, bukan sekadar agar para tetangga terbungkuk-bungkuk hormat melihat kita lewat.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengabdian. Mengabdi pada masyarakat yang masih akrab dengan busung lapar dan gizi buruk. Mengabdi pada masyarakat yang masih sering mengunjungi dukun ketika anaknya demam tinggi.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan empati, ketika dengan lembut kita merangkul dan menguatkan seorang bapak tua yang baru saja kehilangan anaknya karena malaria.

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kemanusiaan, ketika kita tergerak mengabdikan diri dalam tim medis penanggulangan bencana dengan bayaran cuma-cuma.

<span style="font-weight:bold;">Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kepedulian, saat kita terpaku dalam sujud-sujud panjang, mendoakan kesembuhan dan kebahagiaan pasien-pasien kita.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan berbagi, ketika seorang tukang becak menangis di depan kita karena tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit anaknya yang terkena demam berdarah. Lalu dengan senyum terindah yang pernah disaksikan dunia, kita menepuk bahunya dan berkata, “jangan menangis lagi, pak, Insya Allah saya bantu pembayarannya.”

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan kasih sayang, ketika dengan sepenuh cinta kita mengusap lembut rambut seorang anak dengan leukemia dan berbisik lembut di telinganya,”dik, mau diceritain dongeng nggak sama oom dokter?”

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan ketegasan, ketika sebuah perusahaan farmasi menjanjikan komisi besar untuk target penjualan obat-obatnya, lalu dengan tetap tersenyum kita mantap berkata, “maaf, saya tidak mungkin mengkhianati pasien dan hati nurani saya”

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengorbanan, saat tengah malam tetangga dari kampung sebelah dengan panik mengetuk pintu rumah kita karena anaknya demam dan kejang-kejang. Lalu dengan ikhlas kita beranjak meninggalkan hangatnya peraduan menembus pekat dan dinginnya malam.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan terjal lagi mendaki untuk meraih cita-cita kita. Bukan, bukan kekayaan atau penghormatan manusia yang kita cari. Tapi ridha Allah lah yang senantiasa kita perjuangkan.

Yah, memilih menjadi dokter adalah memilih jalan menuju surga, tempat di mana dokter sudah tidak lagi perlu ada…

NB : Ini bukan provokasi untuk menjadi dokter miskin, bukan juga mengatakan bahwa dokter tidak perlu penghormatan atau hal-hal duniawi lainnya. Tulisan ini hanya sekadar sebuah nasihat untuk diri sendiri dan rekan sejawat semua untuk meluruskan kembali niat kita dalam menjadi seorang dokter. Karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Silakan menjadi kaya, silakan menjadi terhormat, asal jangan itu yang menjadi tujuan kita. Dokter terlalu rendah jika diniatkan hanya untuk keuntungan duniawi semata. Mungkin akan sangat susah untuk menggenggam erat idealisme ini nantinya. Namun saya yakin, jika ada kemauan yang kuat dan niat yang tepat, idealisme ini akan terbawa sampai mati. Walaupun harus sendirian dalam memperjuangkannya, walaupun banyak yang mencemooh dan merendahkan. Saya yakin, Allah tidak akan pernah salah menilai setiap usaha dan perjuangan hamba-hamba-Nya. Tidak akan pernah.



Tulisan ini dibuat oleh :

Aditya Putra Priyahita, seorang yang sangat merindukan sebuah reuni anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di surga nanti

Memilih menjadi Dokter.. :)

Bismillahirromaanirrohii...
Rekan sejawat yang terhormat..

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk bisa kaya raya, maka segeralah kemasi barang-barang Anda. Mungkin fakultas ekonomi lebih tepat untuk mendidik anda menjadi businessman bergelimang rupiah. Daripada Anda harus mengorbankan pasien dan keluarga Anda sendiri demi mengejar kekayaan.

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk mendapatkan kedudukan sosial tinggi di masyarakat, dipuja dan didewakan, maka silahkan kembali ke Mesir ribuan tahun yang lalu dan jadilah fir’aun di sana. Daripada Anda di sini harus menjadi arogan dan merendahkan orang lain di sekitar Anda hanya agar Anda terkesan paling berharga.

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk memudahkan mencari jodoh atau menarik perhatian calon mertua, mungkin lebih baik Anda mencari agency selebritis yang akan mengorbitkan Anda sehingga menjadi artis pujaan para wanita. Daripada Anda bersembunyi di balik topeng klimis dan jas putih necis, sementara Anda alpa dari makna dokter yang sesungguhnya.

Dokter tidak diciptakan untuk itu, kawan.

Memilih menjadi dokter bukan sekadar agar bisa bergaya dengan BMW keluaran terbaru, bukan sekadar bisa terihat tampan dengan jas putih kebanggaan, bukan sekadar agar para tetangga terbungkuk-bungkuk hormat melihat kita lewat.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengabdian. Mengabdi pada masyarakat yang masih akrab dengan busung lapar dan gizi buruk. Mengabdi pada masyarakat yang masih sering mengunjungi dukun ketika anaknya demam tinggi.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan empati, ketika dengan lembut kita merangkul dan menguatkan seorang bapak tua yang baru saja kehilangan anaknya karena malaria.

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kemanusiaan, ketika kita tergerak mengabdikan diri dalam tim medis penanggulangan bencana dengan bayaran cuma-cuma.

<span style="font-weight:bold;">Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kepedulian, saat kita terpaku dalam sujud-sujud panjang, mendoakan kesembuhan dan kebahagiaan pasien-pasien kita.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan berbagi, ketika seorang tukang becak menangis di depan kita karena tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit anaknya yang terkena demam berdarah. Lalu dengan senyum terindah yang pernah disaksikan dunia, kita menepuk bahunya dan berkata, “jangan menangis lagi, pak, Insya Allah saya bantu pembayarannya.”

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan kasih sayang, ketika dengan sepenuh cinta kita mengusap lembut rambut seorang anak dengan leukemia dan berbisik lembut di telinganya,”dik, mau diceritain dongeng nggak sama oom dokter?”

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan ketegasan, ketika sebuah perusahaan farmasi menjanjikan komisi besar untuk target penjualan obat-obatnya, lalu dengan tetap tersenyum kita mantap berkata, “maaf, saya tidak mungkin mengkhianati pasien dan hati nurani saya”

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengorbanan, saat tengah malam tetangga dari kampung sebelah dengan panik mengetuk pintu rumah kita karena anaknya demam dan kejang-kejang. Lalu dengan ikhlas kita beranjak meninggalkan hangatnya peraduan menembus pekat dan dinginnya malam.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan terjal lagi mendaki untuk meraih cita-cita kita. Bukan, bukan kekayaan atau penghormatan manusia yang kita cari. Tapi ridha Allah lah yang senantiasa kita perjuangkan.

Yah, memilih menjadi dokter adalah memilih jalan menuju surga, tempat di mana dokter sudah tidak lagi perlu ada…

NB : Ini bukan provokasi untuk menjadi dokter miskin, bukan juga mengatakan bahwa dokter tidak perlu penghormatan atau hal-hal duniawi lainnya. Tulisan ini hanya sekadar sebuah nasihat untuk diri sendiri dan rekan sejawat semua untuk meluruskan kembali niat kita dalam menjadi seorang dokter. Karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Silakan menjadi kaya, silakan menjadi terhormat, asal jangan itu yang menjadi tujuan kita. Dokter terlalu rendah jika diniatkan hanya untuk keuntungan duniawi semata. Mungkin akan sangat susah untuk menggenggam erat idealisme ini nantinya. Namun saya yakin, jika ada kemauan yang kuat dan niat yang tepat, idealisme ini akan terbawa sampai mati. Walaupun harus sendirian dalam memperjuangkannya, walaupun banyak yang mencemooh dan merendahkan. Saya yakin, Allah tidak akan pernah salah menilai setiap usaha dan perjuangan hamba-hamba-Nya. Tidak akan pernah.



Tulisan ini dibuat oleh :

Aditya Putra Priyahita, seorang yang sangat merindukan sebuah reuni anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di surga nanti

Sabtu, 09 April 2011

Berdamai dengan luka..


Sekilas kata-kata di atas terlihat puitis dan mempunyai makna tersirat..

Sejujurnya tidak, karena begitulah pesan atau maknanya langsung ke objek tersebut, "luka", tentu yang dimaksud di sini adalah luka hati..

Siapapun dia, pasti pernah terluka, merasa dikecewakan, dibohongi, dikhianati, dipermainkan dan sebagainya...

Berdamai dengan luka, bermakna tidak lagi menjadikan luka itu sebagai musuh kita..
Mudah? tentu saja tidak :)

Karena ketika kita terluka, hal yang pertama kali diingat adalah objek yang dengan sukses menorehkan luka itu.., apalagi luka lama, yang ngga sembuh2 biar udah dimakan umur, masiih aja diungkit2 terus...,bahkan sampai mengganggu kehidupannya di masa kini dan esok..

Satu hal yang terus kuingat, jika suatu saat saya melakukan kesalahan dan saya terluka karenanya, saya tak akan pernah menceritakan kepada siapapun, terlebih orang yang akan saya cintai nantinya, karna tanpa sadar, saya akan melukai orang yang menyayangi saya di masa depan...dan sungguh saya ngga mau itu terjadi, yang saya inginkan adalah saat itu adalah kondisi terbaik saya, tanpa luka, tanpa ada kesedihan dari masa lalu yang membayangi hidup saya...^^

Saya punya seorang sahabat, yang pernah komitmen dengan ikhwan,berjanji akan menikah dalam waktu dekat, dan ikhwan ini sudah menyiapkan segala hal agar bisa menikah sama akhwat sahabat saya itu...,kerja keras, mengumpulkan uang buat biaya nikah,bahkan sudah bilang ke ortu si akhwat, si ikhwan yang saat itu masih mahasiswa tingkat 2, harus mencari penghasilan, buka usaha dll..., sampai suatu ketika, si akhwat tiba2 memutuskan komitmen karna satu dan lain hal..tidak lama kemudian, si akhwat menikah sama ikhwan lain...

Bayangkan, betapa kecewanya si ikhwan itu.., harapan untuk bisa menikah dengan si akhwat hancur sudah, semenjak itu beliau trauma, usaha yang sudah dia bangun dari nol, sehingga bisa berpenghasilan sendiri, dia biarkan bangkrut, kuliahnya juga sempat mandek...

dan dari kisah mereka saya temukan hikmah mendalam, bahwa memang... segala sesuatunya sudah diatur oleh Allah,jodoh, rezeki, itu semua sudah ditiupkan semenjak masih dalam kandungan...,yang sering dilupakan adalah, kadang kita tidak mengikut sertakan ALLAH SWT dalam setiap niat.., jika memang Allah punya kisah lain dalam taqdirNya, maka ikhlaslah...

Jangan sampai Allah ngga ridho, atas kekecewaan kita atas taqdir yang sudah dipilih olehNya...

Memang, saat kita terluka, di situlah sisi kemanusiaan kita berbicara..

Saat itu, sesungguhnya adalah saat sisi kemanusiawi-an kita, fitrah kita berbicara...

Atas nama fitrah, kita berkelak bahwa kita wajar membenci,

Atas nama fitrah, kita mengizinkan diri ini untuk memendam amarah berkepanjangan,

Atas nama fitrah, kita menikmati berlama-lama tersakiti tanpa ingin menyembuhkan.

Jika memang itu adalah fitrah sesungguhnya, apakah menurut mu ALLAH Yang tak pernah membenci, ridho akan hal itu?..

Muhasabah yuk...
Ketika kita terluka,ketahuilah bahwa Allah sedang mendidik kita agar lebih sabar, lebih tabah..dan pastinya lebih kuat...
Ketika kita terluka, Allah mengajarkan bagaimana kita memaafkan..

Jadi maafkan dia dan luka yang tertinggal di hatimu :), peryalah ini tak berat..., justru keegoan kita untuk tidak memaafkanlah yang memberatkan..

Serahkan semua pada Allah yang menguasai semua sisi di hatimu, biarkan Allah yang menghapusnya dan akhirnya menggantinya dengan yang lebih baik..

Dan pada akhirnya, kelak ada rasa syukur dan Allah akan menambah nikmat kepadanya..

Semoga Allah menjadi saksi kesungguhan kita meniti jalanNya..

Semoga bermanfaat..^^

Cianjur, 10 April 2011