Sabtu, 09 April 2011

Berdamai dengan luka..


Sekilas kata-kata di atas terlihat puitis dan mempunyai makna tersirat..

Sejujurnya tidak, karena begitulah pesan atau maknanya langsung ke objek tersebut, "luka", tentu yang dimaksud di sini adalah luka hati..

Siapapun dia, pasti pernah terluka, merasa dikecewakan, dibohongi, dikhianati, dipermainkan dan sebagainya...

Berdamai dengan luka, bermakna tidak lagi menjadikan luka itu sebagai musuh kita..
Mudah? tentu saja tidak :)

Karena ketika kita terluka, hal yang pertama kali diingat adalah objek yang dengan sukses menorehkan luka itu.., apalagi luka lama, yang ngga sembuh2 biar udah dimakan umur, masiih aja diungkit2 terus...,bahkan sampai mengganggu kehidupannya di masa kini dan esok..

Satu hal yang terus kuingat, jika suatu saat saya melakukan kesalahan dan saya terluka karenanya, saya tak akan pernah menceritakan kepada siapapun, terlebih orang yang akan saya cintai nantinya, karna tanpa sadar, saya akan melukai orang yang menyayangi saya di masa depan...dan sungguh saya ngga mau itu terjadi, yang saya inginkan adalah saat itu adalah kondisi terbaik saya, tanpa luka, tanpa ada kesedihan dari masa lalu yang membayangi hidup saya...^^

Saya punya seorang sahabat, yang pernah komitmen dengan ikhwan,berjanji akan menikah dalam waktu dekat, dan ikhwan ini sudah menyiapkan segala hal agar bisa menikah sama akhwat sahabat saya itu...,kerja keras, mengumpulkan uang buat biaya nikah,bahkan sudah bilang ke ortu si akhwat, si ikhwan yang saat itu masih mahasiswa tingkat 2, harus mencari penghasilan, buka usaha dll..., sampai suatu ketika, si akhwat tiba2 memutuskan komitmen karna satu dan lain hal..tidak lama kemudian, si akhwat menikah sama ikhwan lain...

Bayangkan, betapa kecewanya si ikhwan itu.., harapan untuk bisa menikah dengan si akhwat hancur sudah, semenjak itu beliau trauma, usaha yang sudah dia bangun dari nol, sehingga bisa berpenghasilan sendiri, dia biarkan bangkrut, kuliahnya juga sempat mandek...

dan dari kisah mereka saya temukan hikmah mendalam, bahwa memang... segala sesuatunya sudah diatur oleh Allah,jodoh, rezeki, itu semua sudah ditiupkan semenjak masih dalam kandungan...,yang sering dilupakan adalah, kadang kita tidak mengikut sertakan ALLAH SWT dalam setiap niat.., jika memang Allah punya kisah lain dalam taqdirNya, maka ikhlaslah...

Jangan sampai Allah ngga ridho, atas kekecewaan kita atas taqdir yang sudah dipilih olehNya...

Memang, saat kita terluka, di situlah sisi kemanusiaan kita berbicara..

Saat itu, sesungguhnya adalah saat sisi kemanusiawi-an kita, fitrah kita berbicara...

Atas nama fitrah, kita berkelak bahwa kita wajar membenci,

Atas nama fitrah, kita mengizinkan diri ini untuk memendam amarah berkepanjangan,

Atas nama fitrah, kita menikmati berlama-lama tersakiti tanpa ingin menyembuhkan.

Jika memang itu adalah fitrah sesungguhnya, apakah menurut mu ALLAH Yang tak pernah membenci, ridho akan hal itu?..

Muhasabah yuk...
Ketika kita terluka,ketahuilah bahwa Allah sedang mendidik kita agar lebih sabar, lebih tabah..dan pastinya lebih kuat...
Ketika kita terluka, Allah mengajarkan bagaimana kita memaafkan..

Jadi maafkan dia dan luka yang tertinggal di hatimu :), peryalah ini tak berat..., justru keegoan kita untuk tidak memaafkanlah yang memberatkan..

Serahkan semua pada Allah yang menguasai semua sisi di hatimu, biarkan Allah yang menghapusnya dan akhirnya menggantinya dengan yang lebih baik..

Dan pada akhirnya, kelak ada rasa syukur dan Allah akan menambah nikmat kepadanya..

Semoga Allah menjadi saksi kesungguhan kita meniti jalanNya..

Semoga bermanfaat..^^

Cianjur, 10 April 2011

Kusujudkan Cinta dalam Mihrab Taat...

Ada salah seorang sahabat bercerita, sedang pusing menghadapi salah seorang ikhwan yang dari gelagatnya tampak sedang melakukan pendekatan. Dia bukan sembarang ikhwan. Ibadahnya insya Allah taat, ilmu agamanya terbilang luas, dan juga pandai melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Dari semua kriteria yang aku sebutkan tadi, selayaknya bila dia merasa senang, namun yang terjadi justru sebaliknya. Sahabatku ini merasa terganggu.

Dia merasa terganggu dengan cara si ikhwan tersebut membangun interaksi. Dia sering sms, YM dan menelpon, terlalu sering malah. Dan yang paling mengusik hati nuraninya, yang terakhir.. dia menelpon pada tengah malam. Di jam istirahat, saat orang ingin bisa tidur nyenyak setelah lelah beraktifitas, waktu dimana harusnya bisa mengerti bahwa gak seharusnya mengganggu orang yang sedang tidur. Yang paling utama, suara akhwat yang baru bangun dari tidur… cenderung lebih bernada rendah dan terdengar manja, tanpa harus disengaja. Dalam kondisi seperti ini, aku memandang suara akhwat layaknya aurat. Tapi bagi sang ikhwan, suara dan tanggapan dari sahabatku itu merupakan kumpulan poin yang menjadi bahannya dalam menilai, dalam sebuah proses yang dinamakan penjajakan.

Penjajakan, atau yang masih sering disalahartikan sebagai “ta’aruf”. Sayangnya, banyak yang keliru dalam mengartikan istilah ini. Sebuah aturan yang suci seringkali diselewengkan dengan mencari celah-celah demi pemenuhan rasa penasaran.

Cinta bersujud di mihrab taat, kalimat yang aku baca dari sebuah buku. Singkat, padat, namun bemakna dalam.

Penjabaran dalam buku tersebut dirangkai dalam bentuk cerita yang dikutip oleh Syaikh’ Abdullah’ Nashih, sebagai berikut:

Ada seorang gadis cantik, seperti sebuah bunga yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, mendengar suaranya, atau bahkan yang pernah berurusan dengannya. Kecantikannya begitu terjaga seolah-olah seperti seorang bidadari di taman surga. Dia memendam cinta yang tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dia temui sama sekali. Mengenalnya hanya dari cerita yang dia dengar, bahwa pemuda ini tampan, berakhlak suci, berilmu tinggi, dan sholeh. Nama pemuda ini kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang menginginkan menantu.

Hingga suatu hari, pemuda tersebut berkunjung ke kotanya untuk suatu urusan. Si gadis lalu menulis surat memohon untuk bertemu. Dan jawabannya adalah “Ya”.

Mereka bertemu di suatu tempat yang telah disepakati, hanya berdua saja. Pada awalnya keduanya terdiam, sibuk dengan perasaan masing-masing yang berkecamuk di dalam hati. Si gadis berkeringat dingin, pemuda ini jauh lebih dari yang dia bayangkan: kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Karena dalam keluarganya dia terbiasa berani berbicara, maka dia yang memulai:

“Maha Suci Allah”, katanya sambil memandang sekilas, “Yang telah menganugerahimu dengan wajah yang begitu tampan”.

Sang pemuda menjawabnya sambil tersenyum dan menundukkan wajah, “Andai kau lihat aku sesudah tiga hari dikuburkan, ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata, ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah itu begitu sementara, jangan tertipu olehnya”.

“Betapa inginnya aku meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu”, lanjut si gadis.

Sang pemuda berkeringat dingin, lalu menjawab sambil tetap menunduk, memejamkan mata, “Aku juga ingin berbuat lebih dari itu, tapi coba bayangkan kulit kita adalah api neraka bagi yang satu dan yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan”.

Si gadis ikut tertunduk, “tapi tahukah kamu, telah lama aku dilanda rindu, takut dan sedih. Telah lama aku ingin meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban, agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan”.

“Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda, “sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertakwa”.

Kisah tersebut dihentikan pada titik ini. Syaikh’ Abdullah Nashih’ Ulwan bertanya, “Apa yang kita pelajari dari kisah ini?”.

Sebuah kisah yang indah. Si pemuda tampak demikian fasih membimbing si gadis menghayati kesucian dan ketakwaan kepada Allah.

“Tapi”, kata beliau memberi catatan. “Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas dakwah dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam kisah, sang gadis sama sekali tidak mengindahkan dakwahnya. Bahkan ia menjadi makin berani dalam kata-kata, mengajukan permintaan-permintaan yang makin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syari’at Allah”.

Terlihat jelas, sang gadis mula-mula hanya mengagumi, lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu bertautan, kemudian membayangkan berada dalam pelukan. Bagaimana jika percakapan ini diteruskan tanpa batas waktu?

“Kesalahan itu”, lanjutnya, “Telah terjadi sejak awal, mereka berkhalwat! Mereka tidak mengindahkan peringatan syari’at dan pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini”.

Mereka berkhalwat, bersepi berduaan. Itu letak kesalahan yang telah terjadi dari awal. Kandungan pesan dari sang pemuda memang terkesan indah, tapi entah dalam sadar atau tidaknya, dia juga membuka pintu pelanggaran syari’at.



Back to real life…

Sering kita temui, pola pendekatan ala pacaran yang dianggap sebagai ta’aruf. Ilmu agama yang memadai, kadang belum mampu mendorong seseorang menerapkannya dalam wujud akhlaq.

Aku juga bukan seorang suci yang tidak pernah khilaf. Dulu sebelum aku tahu, aku anggap pola penjajakan seperti itu sebagai bagian dari ta’aruf, selama tidak menyatakan diri “berpacaran”. Berpacaran pun aku pernah, karena itu aku menilai pola penjajakan seperti itu sama dengan pendekatan dalam berpacaran, hanya tidak diproklamirkan.

Seiring dengan berjalannya waktu, seiring dengan bertambahnya ilmu yang kupelajari, hatiku merunduk, merasa ada sesak yang aku terjemahkan sebagai sinyal dari dosa. Rasa cinta kepada manusia, akan jauh lebih bermanfaat jika hanya diterapkan kepada seseorang yang halal.

Ta’aruf hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berani melangkah jauh ke depan, dengan modal percaya dan yakin Lillahita’ala.

“The power of thinking without thinking” – Malcolm Gladwell

Berpikir tanpa berpikir, karena mengetahui lebih banyak daripada orang lain belum tentu menjamin bahwa informasi tersebut bermanfaat.

Mungkin pola komunikasi yang dilakukan oleh ikhwan di awal cerita, dimaksudkan untuk sebanyak mungkin menggali informasi tentang sahabatku. Hanya polanya yang melanggar syariat, menjadikan upayanya terasa hambar.

Ada satu kisah yang berkaitan dengan kutipan dari bapak Malcolm Gladwell:

Ada seorang lelaki hendak menikah. Satu hal yang dia persyaratkan untuk calon istrinya: “memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu”. Ketika mereka bertemu dalam pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak”. Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia cuma mengajukan satu syarat? Mengapa harus mundur ketika si calon ternyata tidak bisa masak?.

“Insya Allah di kota ini banyak rumah makan”, jawabnya sambil tersenyum.

“Dan saya juga tidak bisa mencuci”.

Kali ini senyumnya tertahan lebih dalam. Kebangetan! Yup, lagi-lagi.. ini ujian. Maka dia pun menjawab, “Insya Allah di kota ini banyak laundry”.

Sang lelaki mengutamakan kejujuran, keterbukaan, yang ditunjukkan sangat jelas oleh si wanita. Dan dia mengutamakan visi misinya yang utama dalam membangun keluarga, seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Selebihnya, siapa yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Dia mencari calon istri.

Alhamdulillah… setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang istri pun mencoba memasak. Ternyata ia pandai, hanya selama ini belum pernah mencoba. Masakannya lezat melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dengan hal-hal lain, banyak kejutan yang diterima sang suami, jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon istrinya. Ia bersyukur, dan Allah pun menambahkan nikmatnya.

************************************************************************************************************

Cinta yang terdalam hanya untuk Allah Swt, dan berikut kepada Sang Rasul, Nabi Muhammad Saw.

Karena aku cinta, maka aku berusaha patuhi ajaran-ajaran Nya.

Aku menjauh, karena aku lebih merindukan sesuatu yang halal, ingin agar cintaku tertunduk di mihrab taat.

“…
Aku tidak tertarik siapa dirimu, atau bagaimana kau tiba disini.
Aku ingin tahu apakah kau mau berdiri di tengah api bersamaku dan tidak mundur teratur.
Aku tidak tertarik dimana atau dengan siapa kau belajar.
Aku ingin tahu apakah yang menjagamu dari dalam, saat segala hal berjatuhan..
Aku ingin tahu apakah kau bisa sendirian bersama dirimu, dan apakah kau benar-benar menyukai temanmu di saat-saat hampa”.
-Jean Houston, A Passion for The Possible-


Kutipan dan cerita, diambil dari buku “Jalan Cinta Sang Pejuang” (karya Salim A. Fillah)

Sumber Penulisan oleh:
Ukhti. Metha Silvia Ningrum (Civitas YISC Al-Azhar Jakarta, Akhdan)

Pelan, halus dan tanpa disadari.. :)

Seorang wanita berjilbab rapi tampak sedang bersemangat mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Sang guru berkata, “Saya punya permainan…


Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus.Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur.!”, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!”

Murid-munidnya pun mengerti dan mengikuti. Sang guru berganti-gantian mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus !” , jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”.

Dan dijalankanlah adegan seperti tadi, tantu saja munid-munid kerepotan dan kelabakan, dan sangat sulit untuk merubahnya. Namun lambat laun, mereka bisa beradaptasi dan tidak lagi sulit. Selang beberapa saat, permainan berhenti Sang guru tersenyum kepada murid-munidnya.


“Anak-anak, begituah kita ummat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya. Namun kemudian, musuh musuh kita memaksakan kepada kita lewat berbagai cara, untuk membalik sesuatu, dan yang haq menjadi bathil, dan sebaliknya. Pertama-tama mungkin akan sulit bagi kita menenima hal tersebut, tapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat pun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik nilai”.


“Pacaran tidak lagi sesuatu yang tabu, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian mini menjadi hal yang lumrah, sex before married menjadi suatu hiburan, berjilbab tapi telanjang jadi mode, materialistis dan permissive kini menjadi suatu gaya hidup pilihan,dan lain lain.”


“Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadani, kallan sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya bu Guru kepada murid-munidnya. “Paham buu…”


“Baik permainan kedua…”


Begitu Bu Guru melanjutkan. “Bu Guru punya Quran, Ibu letakkan di tengah karpet. Nah, sekarang kalian berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah tanpa menginjak karpet?”

Murid-muridnya berpikir keras. Ada yang punya alternatif dengan tongkat, dan lain-lain. Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, ia gulung karpetnya, dan ambil Qur’annya. Ia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet.


“Anak-anak, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. . Musuh-musuh islam tidak akan menginjak-injak kalian dengan terang-terangan. ..


Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Preman pun tak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar.”

“Jika seseorang ingin membangun rumah yang kuat, maka dibangunnyalah pondasi yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau membongkar pondasinya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kursi dipindahkan dulu, lemari disingkirkan dulu satu persatu, baru rumah dihancurkan” .

“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghantam terang-terangan, tapi I a akan perlahan-lahan mencopot kalian. Mulai dan perangai kalian, cara hidup kalian, model pakaian kalian, dan lain-lain, sehingga meskipun kalian muslim, tapi kalian telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara yg mereka… Dan

itulah yang mereka inginkan.”


“Ini semua adalah fenomena Perang Pemikiran (Ghazwu al-Fikr). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh musuh kalian… Paham ànak-anak?” “Paham buu’

“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Islam, Bu?” tanya mereka.

“Sesungguhnya dahulu mereka terang-terangan menyerang, semisal Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi.”


“Begitulah Islam… Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya ambruk. Tapi kalau diserang serentak terang-terangan, mereka akan bangkit serentak, baru mereka akan sadar.”

Paham anak-anak?” “Paham Buu..”


“Kalau begitu, kita selesaikan pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdoa dahulu sebelum pulang…”


Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya...