HTS tidak memiliki masa depan. Dua insan yang menjalani hubungan itu hanya berlandaskan perasaan iseng, coba – coba, berharap akan ada keajaiban dan selalu berjalan di jalan yang menyenangkan.
Mereka membutuhkan hubungan semacam itu untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Bahkan boleh jadi dia berdalih dengan suatu kelemahan yang ada pada dirinya. Dia merasa kosong dan butuh orang untuk mengisi kekosongan hidupnya itu.
Menjalani HTS sama saja dengan menafikan unsur Allah dalam diri kita. Seolah kita tidak cukup puas dengan takdir yang kelak akan kita terima. Kita merasa perlu coba – coba dengan sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan manfaat. Selain rasa da, dig, dug kalau ketahuan sama murabbi, sama orang orang tua dan khawatir akan dosa yang menyertainya.
Paling kita hanya akan merasa letupan – letupan dalam hati yang berjingkat – jingkat menyisir perasaan, terlena dan terbuai layaknya di surga keabadian, merasa disanjung dengan seseorang yang seolah benar kita sayang. Tapi semuanya palsu, karena itu hanya hubungan yang tidak tentu. Tidak tentu arahnya, daan tidak tentu tujuannya. Untuk apa hubungan itu, siapa yang diuntungkan, apa manfaatnya , sama sekali tidak ada. Kabur, tidak jelas dan cenderung melelahkan.
Satu hal yang membuat miris dan meringis adalah pelaku dari HTS ini adalah para ikhwan dan akhwat yang notabene harusnya tahu hukum syar’i. Karena setiap hari mereka mendapat asupan gizi.yang berupa kajian, liqa, halaqah, dan seabrek aktivitas lain. Seharusnya mereka sehat secara hati dan jiwa, tapi nampaknya pengaruh godaan setan lebih efektif dan lebih manjur. Hati mereka terpikat hingga akhirnya gampang kumat dan berbuat maksiat lagi. Lagi, lagi dan lagi.
Mereka mengetahui ilmu tapi mereka menyelisihi ilmu itu. Mereka memahami bahwa itu tidak boleh, itu haram dan itu menjijikan, tetapi mereka tetap saja melakukannya. Maka tidak berlebihan kiranya kita menyebutkan double kesalahan. Di satu sisi mereka menyalahi ilmu yang mereka miliki, disisi lain mereka bermaksiat di depan Allah Ta’ala.
Lebih parah lagi, mereka melakukan HTS dan berilmu ini kadang sangat susah dinasehati segala ayat dan dalil dari As-sunnah dan hujah ulama hanya didengar oleh kuping kanan kemudian mental lagi ke kuping kiri. Mereka menjadi kebal dengan nasehat. Butuh kesabaran ekstra lebih untuk menundukan hatinya kembali pada islam.
Karena jika tidak hati – hati, mereka bisa lepas dari ikatan memilih untuk berpisah dari komunitas dakwah mereka, dan lebih memilih memadu cinta dan sayang atas nama hubungan tanpa status yang mereka rencanakan. Salah ngomong bisa menjadi persoalan besar. Sensitif mudah tersinggungdan tidak mau berlama-lama dalam sebuah obrolan. Lebih suka menyendiri dan menikmati hati yang sedang dimanjakan perasaan cinta yang melenakan.
Akhirnya kata-kata mujarab pun disebutkan ”akhwat juga manusia, ikhwan juga manusia. ” mereka ingin dimaklumi bila berbuat kesalahan, toh mereka juga bisa salah dan bisa lupa. Tetapi pertanyaannya, dimanakah akal kemanusiaan mereka? Akal itu ada tapi nafsu telah menundukannya . ” ikhwan itu ganteng, kalau tidak menjadi istrinya setidaknya aku pernah menjadi orang yang special dihatinya. Inikah alasan manusiawi mereka?
Justru karena kita manusia, maka akal kita bisa lebih berfungsi daripada makhluk lainnya. Akhwat juga manusia, ikhwan juga manusia, makanya mereka seharusnya juga paham bahwa tidak semudah itu manusia berbuat salah. Bahwa manusia dengan segala kelebihan ilmu dan pengetahuan pada dirinya tidak semudah itu dimaklumi kesalahannya. Karena sebuah maksiat terjadi dari proses yang panjang dan bersahut – sahutan. Ia tidak terjadi mendadak, tiba–tiba dan tanpa perencanaan maka tidaklah adil bila akhirnya sebuah kesalahan bisa serta merta gugur dan terampuni dengan sebuah kalimat ”Ikhwan juga manusia, Akhwat juga manusia”. Benarkan ?
Mereka membutuhkan hubungan semacam itu untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Bahkan boleh jadi dia berdalih dengan suatu kelemahan yang ada pada dirinya. Dia merasa kosong dan butuh orang untuk mengisi kekosongan hidupnya itu.
Menjalani HTS sama saja dengan menafikan unsur Allah dalam diri kita. Seolah kita tidak cukup puas dengan takdir yang kelak akan kita terima. Kita merasa perlu coba – coba dengan sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan manfaat. Selain rasa da, dig, dug kalau ketahuan sama murabbi, sama orang orang tua dan khawatir akan dosa yang menyertainya.
Paling kita hanya akan merasa letupan – letupan dalam hati yang berjingkat – jingkat menyisir perasaan, terlena dan terbuai layaknya di surga keabadian, merasa disanjung dengan seseorang yang seolah benar kita sayang. Tapi semuanya palsu, karena itu hanya hubungan yang tidak tentu. Tidak tentu arahnya, daan tidak tentu tujuannya. Untuk apa hubungan itu, siapa yang diuntungkan, apa manfaatnya , sama sekali tidak ada. Kabur, tidak jelas dan cenderung melelahkan.
Satu hal yang membuat miris dan meringis adalah pelaku dari HTS ini adalah para ikhwan dan akhwat yang notabene harusnya tahu hukum syar’i. Karena setiap hari mereka mendapat asupan gizi.yang berupa kajian, liqa, halaqah, dan seabrek aktivitas lain. Seharusnya mereka sehat secara hati dan jiwa, tapi nampaknya pengaruh godaan setan lebih efektif dan lebih manjur. Hati mereka terpikat hingga akhirnya gampang kumat dan berbuat maksiat lagi. Lagi, lagi dan lagi.
Mereka mengetahui ilmu tapi mereka menyelisihi ilmu itu. Mereka memahami bahwa itu tidak boleh, itu haram dan itu menjijikan, tetapi mereka tetap saja melakukannya. Maka tidak berlebihan kiranya kita menyebutkan double kesalahan. Di satu sisi mereka menyalahi ilmu yang mereka miliki, disisi lain mereka bermaksiat di depan Allah Ta’ala.
Lebih parah lagi, mereka melakukan HTS dan berilmu ini kadang sangat susah dinasehati segala ayat dan dalil dari As-sunnah dan hujah ulama hanya didengar oleh kuping kanan kemudian mental lagi ke kuping kiri. Mereka menjadi kebal dengan nasehat. Butuh kesabaran ekstra lebih untuk menundukan hatinya kembali pada islam.
Karena jika tidak hati – hati, mereka bisa lepas dari ikatan memilih untuk berpisah dari komunitas dakwah mereka, dan lebih memilih memadu cinta dan sayang atas nama hubungan tanpa status yang mereka rencanakan. Salah ngomong bisa menjadi persoalan besar. Sensitif mudah tersinggungdan tidak mau berlama-lama dalam sebuah obrolan. Lebih suka menyendiri dan menikmati hati yang sedang dimanjakan perasaan cinta yang melenakan.
Akhirnya kata-kata mujarab pun disebutkan ”akhwat juga manusia, ikhwan juga manusia. ” mereka ingin dimaklumi bila berbuat kesalahan, toh mereka juga bisa salah dan bisa lupa. Tetapi pertanyaannya, dimanakah akal kemanusiaan mereka? Akal itu ada tapi nafsu telah menundukannya . ” ikhwan itu ganteng, kalau tidak menjadi istrinya setidaknya aku pernah menjadi orang yang special dihatinya. Inikah alasan manusiawi mereka?
Justru karena kita manusia, maka akal kita bisa lebih berfungsi daripada makhluk lainnya. Akhwat juga manusia, ikhwan juga manusia, makanya mereka seharusnya juga paham bahwa tidak semudah itu manusia berbuat salah. Bahwa manusia dengan segala kelebihan ilmu dan pengetahuan pada dirinya tidak semudah itu dimaklumi kesalahannya. Karena sebuah maksiat terjadi dari proses yang panjang dan bersahut – sahutan. Ia tidak terjadi mendadak, tiba–tiba dan tanpa perencanaan maka tidaklah adil bila akhirnya sebuah kesalahan bisa serta merta gugur dan terampuni dengan sebuah kalimat ”Ikhwan juga manusia, Akhwat juga manusia”. Benarkan ?
Burhan Sodiq, copied from Farren's bulletin