Ada salah seorang sahabat bercerita, sedang pusing menghadapi salah seorang ikhwan yang dari gelagatnya tampak sedang melakukan pendekatan. Dia bukan sembarang ikhwan. Ibadahnya insya Allah taat, ilmu agamanya terbilang luas, dan juga pandai melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Dari semua kriteria yang aku sebutkan tadi, selayaknya bila dia merasa senang, namun yang terjadi justru sebaliknya. Sahabatku ini merasa terganggu.
Dia merasa terganggu dengan cara si ikhwan tersebut membangun interaksi. Dia sering sms, YM dan menelpon, terlalu sering malah. Dan yang paling mengusik hati nuraninya, yang terakhir.. dia menelpon pada tengah malam. Di jam istirahat, saat orang ingin bisa tidur nyenyak setelah lelah beraktifitas, waktu dimana harusnya bisa mengerti bahwa gak seharusnya mengganggu orang yang sedang tidur. Yang paling utama, suara akhwat yang baru bangun dari tidur… cenderung lebih bernada rendah dan terdengar manja, tanpa harus disengaja. Dalam kondisi seperti ini, aku memandang suara akhwat layaknya aurat. Tapi bagi sang ikhwan, suara dan tanggapan dari sahabatku itu merupakan kumpulan poin yang menjadi bahannya dalam menilai, dalam sebuah proses yang dinamakan penjajakan.
Penjajakan, atau yang masih sering disalahartikan sebagai “ta’aruf”. Sayangnya, banyak yang keliru dalam mengartikan istilah ini. Sebuah aturan yang suci seringkali diselewengkan dengan mencari celah-celah demi pemenuhan rasa penasaran.
Cinta bersujud di mihrab taat, kalimat yang aku baca dari sebuah buku. Singkat, padat, namun bemakna dalam.
Penjabaran dalam buku tersebut dirangkai dalam bentuk cerita yang dikutip oleh Syaikh’ Abdullah’ Nashih, sebagai berikut:
Ada seorang gadis cantik, seperti sebuah bunga yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, mendengar suaranya, atau bahkan yang pernah berurusan dengannya. Kecantikannya begitu terjaga seolah-olah seperti seorang bidadari di taman surga. Dia memendam cinta yang tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dia temui sama sekali. Mengenalnya hanya dari cerita yang dia dengar, bahwa pemuda ini tampan, berakhlak suci, berilmu tinggi, dan sholeh. Nama pemuda ini kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang menginginkan menantu.
Hingga suatu hari, pemuda tersebut berkunjung ke kotanya untuk suatu urusan. Si gadis lalu menulis surat memohon untuk bertemu. Dan jawabannya adalah “Ya”.
Mereka bertemu di suatu tempat yang telah disepakati, hanya berdua saja. Pada awalnya keduanya terdiam, sibuk dengan perasaan masing-masing yang berkecamuk di dalam hati. Si gadis berkeringat dingin, pemuda ini jauh lebih dari yang dia bayangkan: kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Karena dalam keluarganya dia terbiasa berani berbicara, maka dia yang memulai:
“Maha Suci Allah”, katanya sambil memandang sekilas, “Yang telah menganugerahimu dengan wajah yang begitu tampan”.
Sang pemuda menjawabnya sambil tersenyum dan menundukkan wajah, “Andai kau lihat aku sesudah tiga hari dikuburkan, ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata, ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah itu begitu sementara, jangan tertipu olehnya”.
“Betapa inginnya aku meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu”, lanjut si gadis.
Sang pemuda berkeringat dingin, lalu menjawab sambil tetap menunduk, memejamkan mata, “Aku juga ingin berbuat lebih dari itu, tapi coba bayangkan kulit kita adalah api neraka bagi yang satu dan yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan”.
Si gadis ikut tertunduk, “tapi tahukah kamu, telah lama aku dilanda rindu, takut dan sedih. Telah lama aku ingin meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban, agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan”.
“Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda, “sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertakwa”.
Kisah tersebut dihentikan pada titik ini. Syaikh’ Abdullah Nashih’ Ulwan bertanya, “Apa yang kita pelajari dari kisah ini?”.
Sebuah kisah yang indah. Si pemuda tampak demikian fasih membimbing si gadis menghayati kesucian dan ketakwaan kepada Allah.
“Tapi”, kata beliau memberi catatan. “Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas dakwah dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam kisah, sang gadis sama sekali tidak mengindahkan dakwahnya. Bahkan ia menjadi makin berani dalam kata-kata, mengajukan permintaan-permintaan yang makin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syari’at Allah”.
Terlihat jelas, sang gadis mula-mula hanya mengagumi, lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu bertautan, kemudian membayangkan berada dalam pelukan. Bagaimana jika percakapan ini diteruskan tanpa batas waktu?
“Kesalahan itu”, lanjutnya, “Telah terjadi sejak awal, mereka berkhalwat! Mereka tidak mengindahkan peringatan syari’at dan pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini”.
Mereka berkhalwat, bersepi berduaan. Itu letak kesalahan yang telah terjadi dari awal. Kandungan pesan dari sang pemuda memang terkesan indah, tapi entah dalam sadar atau tidaknya, dia juga membuka pintu pelanggaran syari’at.
Back to real life…
Sering kita temui, pola pendekatan ala pacaran yang dianggap sebagai ta’aruf. Ilmu agama yang memadai, kadang belum mampu mendorong seseorang menerapkannya dalam wujud akhlaq.
Aku juga bukan seorang suci yang tidak pernah khilaf. Dulu sebelum aku tahu, aku anggap pola penjajakan seperti itu sebagai bagian dari ta’aruf, selama tidak menyatakan diri “berpacaran”. Berpacaran pun aku pernah, karena itu aku menilai pola penjajakan seperti itu sama dengan pendekatan dalam berpacaran, hanya tidak diproklamirkan.
Seiring dengan berjalannya waktu, seiring dengan bertambahnya ilmu yang kupelajari, hatiku merunduk, merasa ada sesak yang aku terjemahkan sebagai sinyal dari dosa. Rasa cinta kepada manusia, akan jauh lebih bermanfaat jika hanya diterapkan kepada seseorang yang halal.
Ta’aruf hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berani melangkah jauh ke depan, dengan modal percaya dan yakin Lillahita’ala.
“The power of thinking without thinking” – Malcolm Gladwell
Berpikir tanpa berpikir, karena mengetahui lebih banyak daripada orang lain belum tentu menjamin bahwa informasi tersebut bermanfaat.
Mungkin pola komunikasi yang dilakukan oleh ikhwan di awal cerita, dimaksudkan untuk sebanyak mungkin menggali informasi tentang sahabatku. Hanya polanya yang melanggar syariat, menjadikan upayanya terasa hambar.
Ada satu kisah yang berkaitan dengan kutipan dari bapak Malcolm Gladwell:
Ada seorang lelaki hendak menikah. Satu hal yang dia persyaratkan untuk calon istrinya: “memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu”. Ketika mereka bertemu dalam pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak”. Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia cuma mengajukan satu syarat? Mengapa harus mundur ketika si calon ternyata tidak bisa masak?.
“Insya Allah di kota ini banyak rumah makan”, jawabnya sambil tersenyum.
“Dan saya juga tidak bisa mencuci”.
Kali ini senyumnya tertahan lebih dalam. Kebangetan! Yup, lagi-lagi.. ini ujian. Maka dia pun menjawab, “Insya Allah di kota ini banyak laundry”.
Sang lelaki mengutamakan kejujuran, keterbukaan, yang ditunjukkan sangat jelas oleh si wanita. Dan dia mengutamakan visi misinya yang utama dalam membangun keluarga, seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Selebihnya, siapa yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Dia mencari calon istri.
Alhamdulillah… setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang istri pun mencoba memasak. Ternyata ia pandai, hanya selama ini belum pernah mencoba. Masakannya lezat melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dengan hal-hal lain, banyak kejutan yang diterima sang suami, jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon istrinya. Ia bersyukur, dan Allah pun menambahkan nikmatnya.
************************************************************************************************************
Cinta yang terdalam hanya untuk Allah Swt, dan berikut kepada Sang Rasul, Nabi Muhammad Saw.
Karena aku cinta, maka aku berusaha patuhi ajaran-ajaran Nya.
Aku menjauh, karena aku lebih merindukan sesuatu yang halal, ingin agar cintaku tertunduk di mihrab taat.
“…
Aku tidak tertarik siapa dirimu, atau bagaimana kau tiba disini.
Aku ingin tahu apakah kau mau berdiri di tengah api bersamaku dan tidak mundur teratur.
Aku tidak tertarik dimana atau dengan siapa kau belajar.
Aku ingin tahu apakah yang menjagamu dari dalam, saat segala hal berjatuhan..
Aku ingin tahu apakah kau bisa sendirian bersama dirimu, dan apakah kau benar-benar menyukai temanmu di saat-saat hampa”.
-Jean Houston, A Passion for The Possible-
Kutipan dan cerita, diambil dari buku “Jalan Cinta Sang Pejuang” (karya Salim A. Fillah)
Sumber Penulisan oleh:
Ukhti. Metha Silvia Ningrum (Civitas YISC Al-Azhar Jakarta, Akhdan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar