Sabtu, 09 April 2011

Pelan, halus dan tanpa disadari.. :)

Seorang wanita berjilbab rapi tampak sedang bersemangat mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Sang guru berkata, “Saya punya permainan…


Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus.Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur.!”, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!”

Murid-munidnya pun mengerti dan mengikuti. Sang guru berganti-gantian mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus !” , jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”.

Dan dijalankanlah adegan seperti tadi, tantu saja munid-munid kerepotan dan kelabakan, dan sangat sulit untuk merubahnya. Namun lambat laun, mereka bisa beradaptasi dan tidak lagi sulit. Selang beberapa saat, permainan berhenti Sang guru tersenyum kepada murid-munidnya.


“Anak-anak, begituah kita ummat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya. Namun kemudian, musuh musuh kita memaksakan kepada kita lewat berbagai cara, untuk membalik sesuatu, dan yang haq menjadi bathil, dan sebaliknya. Pertama-tama mungkin akan sulit bagi kita menenima hal tersebut, tapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat pun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik nilai”.


“Pacaran tidak lagi sesuatu yang tabu, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian mini menjadi hal yang lumrah, sex before married menjadi suatu hiburan, berjilbab tapi telanjang jadi mode, materialistis dan permissive kini menjadi suatu gaya hidup pilihan,dan lain lain.”


“Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadani, kallan sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya bu Guru kepada murid-munidnya. “Paham buu…”


“Baik permainan kedua…”


Begitu Bu Guru melanjutkan. “Bu Guru punya Quran, Ibu letakkan di tengah karpet. Nah, sekarang kalian berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah tanpa menginjak karpet?”

Murid-muridnya berpikir keras. Ada yang punya alternatif dengan tongkat, dan lain-lain. Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, ia gulung karpetnya, dan ambil Qur’annya. Ia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet.


“Anak-anak, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. . Musuh-musuh islam tidak akan menginjak-injak kalian dengan terang-terangan. ..


Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Preman pun tak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar.”

“Jika seseorang ingin membangun rumah yang kuat, maka dibangunnyalah pondasi yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau membongkar pondasinya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kursi dipindahkan dulu, lemari disingkirkan dulu satu persatu, baru rumah dihancurkan” .

“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghantam terang-terangan, tapi I a akan perlahan-lahan mencopot kalian. Mulai dan perangai kalian, cara hidup kalian, model pakaian kalian, dan lain-lain, sehingga meskipun kalian muslim, tapi kalian telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara yg mereka… Dan

itulah yang mereka inginkan.”


“Ini semua adalah fenomena Perang Pemikiran (Ghazwu al-Fikr). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh musuh kalian… Paham ànak-anak?” “Paham buu’

“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Islam, Bu?” tanya mereka.

“Sesungguhnya dahulu mereka terang-terangan menyerang, semisal Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi.”


“Begitulah Islam… Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya ambruk. Tapi kalau diserang serentak terang-terangan, mereka akan bangkit serentak, baru mereka akan sadar.”

Paham anak-anak?” “Paham Buu..”


“Kalau begitu, kita selesaikan pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdoa dahulu sebelum pulang…”


Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya...

Tidak ada komentar: